Suprijadi (lahir di Trenggalek, Jawa Timur, 13 April 1923 - wafat: ??? misteri) adalah pahlawan nasional Indonesia, pemimpin pemberontakan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) terhadap pasukan pendudukan Jepang di Blitar pada Februari 1945. Ia ditunjuk sebagai menteri keamanan rakyat pada kabinet pertama Indonesia, Kabinet Presidensial, tapi digantikan oleh Soeljadikoesoemo pada 20 Oktober 1945 karena Suprijadi tidak pernah muncul. Bagaimana dan di mana Suprijadi wafat, masih menjadi misteri yang belum terpecahkan.
Menelusuri Jejak Supriyadi
Pemberontakan tentara Pembela Tanah Air (Peta) pada 14 Februari 1945 yang dipimpin oleh Shodanco (tentara) Supriyadi di Blitar hingga kini masih menyisakan berbagai pertanyaan khususnya bagi masyarakat Jatim.
Kemanakah perginya pahlawan yang gagah dan pemberani itu? Ada teman mantan shodancho tetapi mereka tidak mengetahui keberadaannya. Jika masih hidup dimanakah tempat tinggalnya, dan seandainya meninggal dimanakah kuburan atau makamnya. Sebagian besar masyarakat Blitar bila ditanya tentang Supriyadi selalu menggelengkan kepala seakan memberikan isyarat tidak mengerti.
Yang ada hanyalah saksi bisu bekas-bekas sang pahlawan pemberani pernah bermarkas. Saksi bisu itu berupa tempat kerja, kamar tidur, dapur tempat masak sekaligus kamar rapat rahasia, klinik berobat dan jejak dimana sang Supriadi pertama kali mengibarkan api perlawanan terhadap penjajah Jepang. Jejak dan bekas saksi bisu pahlawan pemberani ini sekarang telah menjadi komplek sekolahan kota Blitar, ujar Pegawai Dinas Pendidikan Kota Blitar yang ditempatkan di SMPN 3, 5 dan 6 Boenadi di tempat kerjanya.
Waktu itu tidak ada yang berani menentang pendudukan Jepang apa lagi melawan, hanya tentara Peta Daidan Blitar, berani melawannya. Memang ada beberapa pemberontakan sebelumnya, komandannya para ulama dan tokoh masyarakat di berbagai tempat di Indonesia tetapi kesemuanya belum membuahkan hasil yang memuaskan.
Penderitaan rakyat di seluruh Nusantara kala itu sudah sangat parah. Harga diri bangsa diinjak injak, kemiskinan, kelaparan dan berbagai kesengsaraan menjangkiti sendi kehidupan. Yang terjadi adalah sore sakit malam mati, malam sakit pagi mati, pagi sakit siang mati, siang sakit malam mati, begitu seterusnya.
Pemandangan menyesakkan dada dan membuat perih mata bathin itu yang akhirnya membakar nasionalisme Shodanco Supriyadi dan kawan-kawannya menyala sebagai kobaran api patriotisme. Pada hari Selasa Legi Malam Rabu Pahing 14 Februari 1945 Shodancho Supriyadi mulai berontak melawan penjajah. Pemberontakan PETA ini, terlihat kurang efektif karena hanya berlangsung dalam beberapa jam saja dan mengakibatkan tertangkapnya hampir seluruh anggota pasukan Peta kecuali sang pemberani Supriyadi. Namun dari sisi dampak yang ditimbulkan peristiwa pemberontakan Supriyadi ini telah mampu membuka mata dunia agar penjajah Jepang keluar dari Indonesia.
Pemberontakan Peta telah menggoreskan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, karena peristiwa tersebut merupakan satu satunya pemberontakan yang dilakukan oleh tentara didikan Jepang. Bahkan, pemberontakan ini boleh dikatakan sebagai satu-satunya fenomena anak didik Jepang yang berani melawan tuannya diseluruh kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur yang dijajah Kolonial Jepang.
Pelaku pemberontakan banyak yang sudah meninggal dunia, namun ada yang pernah memberikan keterangan di media maupun pada tulisan-tulisan sejarah. Mereka mengisahkan keterlibatan dirinya dalam peristiwa pemberontakan Peta Blitar, 64 tahun yang silam. Di antaranya adalah mantan anggota tentara PETA Blitar berpangkat Gyuhei, Budhanco, bahkan eks Shodanco, meski bukan dari Daidan Blitar. Di hari tuanya, mereka tersebar di berbagai pelosok dan sudut Blitar, namun hanya tinggal beberapa orang saja.
Beberapa ahli waris pelaku pemberontakan PETA, mulai dari keluarga Supriyadi di Blitar pun tak luput dari incaran untuk dapat kembali mengisahkan suasana kala itu. Dari berbagai buku mengenai sejarah pemberontakan Peta mengisahkan bahwa Shodanco Supriyadi berada di kediaman Hardjomiarso, Kepala Desa Sumberagung Kecamatan Gandusari (bahkan desa Sumberagung juga sempat dijadikan markas terakhir pemberontakan).
Ada ceritera yang menyebutkan Air terjun Sedudo, di Nganjuk adalah sebuah tempat lainnya di Jatim yang konon pernah disinggahi Supriyadi, pasca pemberontakan. Sebuah nama tertulis juga dalam buku sejarah pemberontakan Peta bahwa yang bersangkutan ikut membantu "menyembunyikan" Supriyadi dalam sebuah gua di puncak bukit dekat Sedudo.
Selain itu di desa Krisik di wilayah Kabupaten Blitar, berbatasan dengan Kabupaten Malang. Ada sebuah gua pertahanan jaman Jepang terdapat di sana. Tetapi gua pertahanan yang dimaksud tidak ditemukan tanda-tanda keberadaan Supriyadi.
Ada pula berita dari Pantai Tambak, Pantai Jolosutro, Pantai Serang di Blitar Selatan. Dilokasi ini, katanya dulu tentara Peta Blitar membuat pertahanan, berlatih dan dengan ratusan para romusha bekerja paksa hingga menemui ajalnya. Namun kembali di tempat ini tak ada narsumber yang mampu bertutur mengenai adanya Supriyadi. Panceran desa Ngancar Kecamatan Ngancar Kabupaten Kediri, tepatnya dilereng Gunung Kelud. Katanya di lokasi ini Supriyadi pernah melarikan diri bersama dengan pengikutnya bergerilya pasca pembontakan.
Saksi keberadaan Supriyadi yang masih ada hingga saat ini adalah bangunan bekas Markas Tentara Peta di jalan Shodanco Supriyadi Blitar. Di kawasan yang kini dijadikan komplek pendidikan ini, terdapat bekas kamar tidur Supriyadi, dapur tentara PETA, bahkan kini telah berdiri megah monumen Peta Blitar. Tujuh patung terwujud disana menggambarkan wajah mereka pada saat pemberontakan terjadi 14 Februari 1945.
Bicara mengenai pemberontakan Peta Blitar, sebenarnya tidak hanya bicara mengenai sosok Supriyadi yang misterius. Seketika setelah pemberontakan berlangsung sebuah bendera (yang akhirnya kini menjadi bendera Republik Indonesia) warna merah putih, pernah berkibar di angkasa Blitar .
Menurut ceritera Parthohardjono (Tentara PETA Blitar) orangnya yang dengan gagah berani megibarkan merah putih di lapangan depan markas Tentara Peta Blitar. Tempat itu, kini masuk dalam kawasan taman makam pahlawan, persis di seberang monumen Peta Blitar. Sebuah catatan menyebutkan, pasca proklamasi kemerdekaan, tahun 1946 Panglima Besar Jenderal Sudirman pernah mengunjungi tempat dimana bendera merah putih pernah dikibarkan pertama kali di Blitar. Di lokasi ini Jendal sudirman menyematkan karangan bunga.
Boenadi menuturkan ketika pemberontakan berlangsung, suara tembakan mortir menggelegar, sebagai tanda dimulainya pemberontakan yang dipimpin oleh Supriyadi. Malam itu Kota Blitar benar benar mencekam suasananya. Hiruk pikuk tentara Peta yang mulai melakukan pemberontakan terhadap tuannya itu, makin membuat keberanian salah seorang kawan Supriyadi bernama Parthohardjono mengibarkan bendera merah putih di utara lapangan markas Peta Blitar.
Disini sang saka merah putih dikibarkan. Menurut ceritanya Parthohardjono melakukan hormat kepada bendera sang merah putih. Kemudian bersujud mencium tanah tiga kali dengan mata berkaca-kaca penuh haru, karena yakin bahwa malam itu Indonesia telah Merdeka.
Kobaran Api Patriotisme dan Nasionalisme Pemberontakan Peta Blitar itu, hingga kini masih menyala, dan menjelma sebagai sebuah semangat bagi Pemerintah Kota dan Kabupaten Blitar khususnya bangsa Indonesia pada umumnya.
Seharusnya ini bisa menjadi cambuk para pemimpin bangsa dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Betapa Supriyadi telah nyata memberikan bukti untuk melawan penjajah. Kemudian rekan Supriyadi yang bernama Parthohardjono telah memberikan tauladan keberanian dan semangat perjuangan yang begitu besar. Bukankah, tentara Peta telah rela mati untuk terbebas dari belenggu penjajahan.
Sungguh ironis kiranya, jika pemberontakan Peta hanya membekas sebagai sebuah catatan sejarah belaka. Selain itu peristiwa heroik itu hanya diagendakan untuk diperingati tiap tahunnya dalam sebuah seremonial tanpa makna.
Menelusuri Jejak Supriyadi
Pemberontakan tentara Pembela Tanah Air (Peta) pada 14 Februari 1945 yang dipimpin oleh Shodanco (tentara) Supriyadi di Blitar hingga kini masih menyisakan berbagai pertanyaan khususnya bagi masyarakat Jatim.
Kemanakah perginya pahlawan yang gagah dan pemberani itu? Ada teman mantan shodancho tetapi mereka tidak mengetahui keberadaannya. Jika masih hidup dimanakah tempat tinggalnya, dan seandainya meninggal dimanakah kuburan atau makamnya. Sebagian besar masyarakat Blitar bila ditanya tentang Supriyadi selalu menggelengkan kepala seakan memberikan isyarat tidak mengerti.
Yang ada hanyalah saksi bisu bekas-bekas sang pahlawan pemberani pernah bermarkas. Saksi bisu itu berupa tempat kerja, kamar tidur, dapur tempat masak sekaligus kamar rapat rahasia, klinik berobat dan jejak dimana sang Supriadi pertama kali mengibarkan api perlawanan terhadap penjajah Jepang. Jejak dan bekas saksi bisu pahlawan pemberani ini sekarang telah menjadi komplek sekolahan kota Blitar, ujar Pegawai Dinas Pendidikan Kota Blitar yang ditempatkan di SMPN 3, 5 dan 6 Boenadi di tempat kerjanya.
Waktu itu tidak ada yang berani menentang pendudukan Jepang apa lagi melawan, hanya tentara Peta Daidan Blitar, berani melawannya. Memang ada beberapa pemberontakan sebelumnya, komandannya para ulama dan tokoh masyarakat di berbagai tempat di Indonesia tetapi kesemuanya belum membuahkan hasil yang memuaskan.
Penderitaan rakyat di seluruh Nusantara kala itu sudah sangat parah. Harga diri bangsa diinjak injak, kemiskinan, kelaparan dan berbagai kesengsaraan menjangkiti sendi kehidupan. Yang terjadi adalah sore sakit malam mati, malam sakit pagi mati, pagi sakit siang mati, siang sakit malam mati, begitu seterusnya.
Pemandangan menyesakkan dada dan membuat perih mata bathin itu yang akhirnya membakar nasionalisme Shodanco Supriyadi dan kawan-kawannya menyala sebagai kobaran api patriotisme. Pada hari Selasa Legi Malam Rabu Pahing 14 Februari 1945 Shodancho Supriyadi mulai berontak melawan penjajah. Pemberontakan PETA ini, terlihat kurang efektif karena hanya berlangsung dalam beberapa jam saja dan mengakibatkan tertangkapnya hampir seluruh anggota pasukan Peta kecuali sang pemberani Supriyadi. Namun dari sisi dampak yang ditimbulkan peristiwa pemberontakan Supriyadi ini telah mampu membuka mata dunia agar penjajah Jepang keluar dari Indonesia.
Pemberontakan Peta telah menggoreskan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, karena peristiwa tersebut merupakan satu satunya pemberontakan yang dilakukan oleh tentara didikan Jepang. Bahkan, pemberontakan ini boleh dikatakan sebagai satu-satunya fenomena anak didik Jepang yang berani melawan tuannya diseluruh kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur yang dijajah Kolonial Jepang.
Pelaku pemberontakan banyak yang sudah meninggal dunia, namun ada yang pernah memberikan keterangan di media maupun pada tulisan-tulisan sejarah. Mereka mengisahkan keterlibatan dirinya dalam peristiwa pemberontakan Peta Blitar, 64 tahun yang silam. Di antaranya adalah mantan anggota tentara PETA Blitar berpangkat Gyuhei, Budhanco, bahkan eks Shodanco, meski bukan dari Daidan Blitar. Di hari tuanya, mereka tersebar di berbagai pelosok dan sudut Blitar, namun hanya tinggal beberapa orang saja.
Beberapa ahli waris pelaku pemberontakan PETA, mulai dari keluarga Supriyadi di Blitar pun tak luput dari incaran untuk dapat kembali mengisahkan suasana kala itu. Dari berbagai buku mengenai sejarah pemberontakan Peta mengisahkan bahwa Shodanco Supriyadi berada di kediaman Hardjomiarso, Kepala Desa Sumberagung Kecamatan Gandusari (bahkan desa Sumberagung juga sempat dijadikan markas terakhir pemberontakan).
Ada ceritera yang menyebutkan Air terjun Sedudo, di Nganjuk adalah sebuah tempat lainnya di Jatim yang konon pernah disinggahi Supriyadi, pasca pemberontakan. Sebuah nama tertulis juga dalam buku sejarah pemberontakan Peta bahwa yang bersangkutan ikut membantu "menyembunyikan" Supriyadi dalam sebuah gua di puncak bukit dekat Sedudo.
Selain itu di desa Krisik di wilayah Kabupaten Blitar, berbatasan dengan Kabupaten Malang. Ada sebuah gua pertahanan jaman Jepang terdapat di sana. Tetapi gua pertahanan yang dimaksud tidak ditemukan tanda-tanda keberadaan Supriyadi.
Ada pula berita dari Pantai Tambak, Pantai Jolosutro, Pantai Serang di Blitar Selatan. Dilokasi ini, katanya dulu tentara Peta Blitar membuat pertahanan, berlatih dan dengan ratusan para romusha bekerja paksa hingga menemui ajalnya. Namun kembali di tempat ini tak ada narsumber yang mampu bertutur mengenai adanya Supriyadi. Panceran desa Ngancar Kecamatan Ngancar Kabupaten Kediri, tepatnya dilereng Gunung Kelud. Katanya di lokasi ini Supriyadi pernah melarikan diri bersama dengan pengikutnya bergerilya pasca pembontakan.
Saksi keberadaan Supriyadi yang masih ada hingga saat ini adalah bangunan bekas Markas Tentara Peta di jalan Shodanco Supriyadi Blitar. Di kawasan yang kini dijadikan komplek pendidikan ini, terdapat bekas kamar tidur Supriyadi, dapur tentara PETA, bahkan kini telah berdiri megah monumen Peta Blitar. Tujuh patung terwujud disana menggambarkan wajah mereka pada saat pemberontakan terjadi 14 Februari 1945.
Bicara mengenai pemberontakan Peta Blitar, sebenarnya tidak hanya bicara mengenai sosok Supriyadi yang misterius. Seketika setelah pemberontakan berlangsung sebuah bendera (yang akhirnya kini menjadi bendera Republik Indonesia) warna merah putih, pernah berkibar di angkasa Blitar .
Menurut ceritera Parthohardjono (Tentara PETA Blitar) orangnya yang dengan gagah berani megibarkan merah putih di lapangan depan markas Tentara Peta Blitar. Tempat itu, kini masuk dalam kawasan taman makam pahlawan, persis di seberang monumen Peta Blitar. Sebuah catatan menyebutkan, pasca proklamasi kemerdekaan, tahun 1946 Panglima Besar Jenderal Sudirman pernah mengunjungi tempat dimana bendera merah putih pernah dikibarkan pertama kali di Blitar. Di lokasi ini Jendal sudirman menyematkan karangan bunga.
Boenadi menuturkan ketika pemberontakan berlangsung, suara tembakan mortir menggelegar, sebagai tanda dimulainya pemberontakan yang dipimpin oleh Supriyadi. Malam itu Kota Blitar benar benar mencekam suasananya. Hiruk pikuk tentara Peta yang mulai melakukan pemberontakan terhadap tuannya itu, makin membuat keberanian salah seorang kawan Supriyadi bernama Parthohardjono mengibarkan bendera merah putih di utara lapangan markas Peta Blitar.
Disini sang saka merah putih dikibarkan. Menurut ceritanya Parthohardjono melakukan hormat kepada bendera sang merah putih. Kemudian bersujud mencium tanah tiga kali dengan mata berkaca-kaca penuh haru, karena yakin bahwa malam itu Indonesia telah Merdeka.
Kobaran Api Patriotisme dan Nasionalisme Pemberontakan Peta Blitar itu, hingga kini masih menyala, dan menjelma sebagai sebuah semangat bagi Pemerintah Kota dan Kabupaten Blitar khususnya bangsa Indonesia pada umumnya.
Seharusnya ini bisa menjadi cambuk para pemimpin bangsa dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Betapa Supriyadi telah nyata memberikan bukti untuk melawan penjajah. Kemudian rekan Supriyadi yang bernama Parthohardjono telah memberikan tauladan keberanian dan semangat perjuangan yang begitu besar. Bukankah, tentara Peta telah rela mati untuk terbebas dari belenggu penjajahan.
Sungguh ironis kiranya, jika pemberontakan Peta hanya membekas sebagai sebuah catatan sejarah belaka. Selain itu peristiwa heroik itu hanya diagendakan untuk diperingati tiap tahunnya dalam sebuah seremonial tanpa makna.
http://id.wikipedia.org/wiki/Suprijadi
http://kominfo.jatimprov.go.id/potwatch.php?id=419
0 komentar:
Posting Komentar