Orang yang sinis, acapkali mengidentikkan pesantren sebagai lembaga tradisional yang tidak tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Padahal, tidak sedikit produk Iptek pesantren yang terbilang cemerlang. Teropong bintang karya KH Mudjamil Hasba dari Pondok Pesantren al-Hasan Jember, kiranya membuktikan bahwa dari pesantren juga bisa lahir karya teknologi canggih. Orisinal lagi.***
Tak disangka, dari tangan KH Mudjamil Hasba (42), pimpinan sekaligus pengasuh Pondok Pesantren al-Hasan, Desa Kemiri, Kecamatan Panti, Kotatif Jember, yang setiap harinya akrab dengan sarung dan klompen, justru lahir karya yang agung; sebuah teropong bintang. Menariknya, dari teropong ini seekor semut bisa dilihat jelas dari jarak 50 meter.
Menurut kiai yang membina sekitar 500 santri ini, bahwa ia merakit teropong bintang ini sudah dimulai sejak tahun 1986. Waktu itu, dimulai dari peralatan yang sangat sederhana. Dengan bekal membandingkan lensa yang ada pada tustel, Kiai Mudjamil kemudian mempergunakan bekas bungkus bedak sebagai bingkai lensanya dan paralon sebagai tangkai, serta kayu sebagai tiangnya. Selain itu, masih ditambah lagi dengan beberapa sarana lainnya.
Dari situlah lahir karya yang pertama. Cuma, kata kiai yang rajin otodidak (belajar sendiri) ini, karya pertamanya hanya bisa dipergunakan membaca tulisan berjarak 50 meter. Tapi, lanjut kiai yang lebih senang dipanggil ustadz ini, dirinya pantang kenal rasa putus asa. Secara berangsur-angsur ia terus menyempurnakannya. Dan ternyata kini, teropong yang dibuat telah menghabiskan biaya sekitar Rp 3 juta dengan masih tetap memanfaatkan peralatan serba sederhana; terbuat dengan assembling barang rongsokan. “Meskipun demikian, hasilnya sudah bisa untuk melihat planet pluto,” ungkapnya dengan sembari tak lupa bersyukur.
Yang menggembirakan lagi, dari semua karya yang dihasilkannya itu, dirakit dengan ide dan tangannya sendiri. “Saya tidak menjiplak sama sekali. Semua peralatan yang ada ini saya rakit sendiri dan tanpa didesain sebelumnya,” papar kiai yang aktif di HAA (Himpunan Astronomi Amatir) ini. Kendati tidak sampai lulus ibtidaiyah, namun di dalam membuat teropong bintang ini, ia mengaku otodidak dari literatur berbahasa Inggris yang tidak disebutkan teknis pembuatannya.
Selain telah berhasil merakit alat teropong bintang, kiai yang pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) perwakilan Kotatif Jember ini, juga merencanakan membuat alat pengebor besi dengan menggunakan tenaga sinar matahari. Hanya saja sampai saat ini niatan itu masih belum terwujud. Pasalnya? “Terbentur soal dana. Saya perkirakan akan memakan biaya lebih dari Rp 50 juta,” jelasnya.
Tidak itu saja. Kiai yang rajin membaca koran disamping giat membaca Kitab Kuning ini, juga merencanakan hendak membuat alat untuk memantau benda-benda ruang angkasa yang ditransfer ke layar monitor. “Tapi, saya juga belum tahu kapan ini bisa terwujud. Sebab komponennya mahal dan belinya harus di luar negeri”, kilahnya.
Di sela-sela kesibukan mengajar di Ponpes al-Hasan, Mudjamil Hasba juga menjalin hubungan dengan Pusat Penelitian Bintang di Lembaga dan Planetarium di Jakarta. Di samping itu, dari 9 anggota pembantu HAA yang berkantor di Jakarta, dialah satu-satunya anggota pembantu yang mempunyai latar belakang pesantren dan memiliki teropong bintang sendiri.
Prihatinkan Ketertinggalan Umat Islam
Lebih jauh, Mudjamil memaparkan, ihwal dirinya mulai keranjingan menekuni masalah-masalah ruang angkasa ini, bermula dari rasa ketertinggalan ummat Islam di bidang sains dan teknologi. Obsesi itulah yang senantiasa membisiki hatinya, dan sekaligus memacu semangat otodidaknya.
Kiai yang tidak tamat ibtidaiyah ini seringkali tercenung saat teringat surat Ali Imron ayat 190, “Sesungguhnya di dalam penciptaaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah Swt bagi orang-orang yang beakal.”
Terdorong ayat itu, kemudian dia secara intensif mengamati peristiwa-peristiwa yang terjadi di ruang angkasa. “Saya tergerak dengan sindiran ayat itu. Kemudian saya melakukan penyelidikan. Meskipun saya tidak tahu, alat apa yang dapat saya pergunakan nanti,” kenangnya.
Menurut Mudjamil, relevansi Islam dengan astronomi dan fisika sangat erat sekali. Sekitar 10 persen dari al-Qur’an menyangkut masalah tersebut. Misalnya penentuan waktu sholat, jelas berkaitan dengan astronomi. Belum lagi dengan gerakan-gerakannya. Sebab setiap makhluk (yang dalam kondisi normal) ketika difoto, dilihat secara proses kimia, akan memancarkan sinar aura dengan ragam putih-putih, putih kemerah-merahan, putih kebiru-biruan. Hasil penyelidikan yang pernah dilakukan di London menunjukkan, bahwa foto secara efek kimia terhadap orang yang seusai shalat, warnanya putih kebiru-biruan. “Ini berarti kan orang yang sedang shalat itu jiwanya tenang,” ceritanya panjang lebar.
Menurutnya pula, sebenarnya kemajuan Barat yang bersumber pada ilmu eksakta itu banyak diilhami al-Qur’an. Cuma, secara kebetulan kebanyakan mereka belum mendapat petunjuk dari al-Qur ‘an itu sendiri. sehingga dari hasil penemuan itu terkadang lepas kontrol, dan sebagai dampaknya merusak peradaban manusia.
Meskipun demikian, Mudjamil mengharap, hendaknya umat Islam tidak perlu ‘alergi’ terhadap kemajuan teknologi Barat. Sebab, kemajuan yang dicapai Barat sekarang, sebenarnya merupakan hasil ‘rampasan’ terhadap kekayaan umat Islam pada saat Perang Salib dahulu. Sebaiknya masa dulu itu dijadikan i’tibar (pejalaran) untuk mengatasi keadaan sekarang dan mewaspadai hari esok,” tuturnya.
Bagi bapak dari tiga orang anak ini, modernisasi adalah seseorang yang berpandangan ke arah perkembangan ilmu sekarang (khalaf), namun tetap berpendirian pada ‘ulama salaf (dahulu). Sebab para ulama salaf itu sangat istiqomah di dalam memegang prinsip Islami. “Jadi, modernisasi itu ‘kan tidak mesti westernisasi. Modernisasi yang dimaksudkan disini adalah, berpendirian salaf dan berpandangan khalaf,” tandasnya.
Nah, bagaimana kiai-kiai muda lainnya.*(IB)
0 komentar:
Posting Komentar